Kamis, 06 September 2012

FENOMENA PENDIDIKAN INDONESIA

      Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan di Indonesia menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Masalah kedua, sistem pendidikan yang top down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa. Masalah ketiga, model pendidikan yang hanya diorientasikan kepada manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (wujud dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak-belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, dan budaya situasi masyarakat lain. Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat toleran untuk direnungkan. Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk membangunan karakter demi kemajuan bangsa Indonesia kedepan. 
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007). Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1.         Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2.         Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta gender.
3.         Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4.         Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5.         Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6.         Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7.         Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.

Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
        2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik. Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang. Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif. Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
        3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi. Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
      3. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.


        4. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
        5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.


        6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
       7.  Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
      
      Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. 

 Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Apa kekhasan pendidikan Charlotte Mason dibandingkan sistem pendidikan dan metode homeschooling lainnya? Ide-ide pendidikan apa saja yang ia tawarkan kepada kita? Dengan enam volume buku yang masing-masing tebalnya 300-an halaman dan berbagai artikel lepas yang ia tulis, mustahil meringkas semua pemikirannya ke dalam beberapa butir saja. Tetapi demi mendapatkan suatu tinjauan umum sebelum memutuskan apakah Anda menyukainya, saya ingin membantu Anda memahami konsep-konsep kunci dari metode Charlotte Mason.
1. Pendidikan Liberal
Di era Victoria, masyarakat Inggris sangat tersekat oleh kelas-kelas sosial. Hanya anak-anak dari keluarga kaya yang berkesempatan mencicipi pendidikan dan kehidupan yang berbudaya, sementara anak-anak miskin dipandang rendah dalam martabat maupun kapasitas -- dalam istilah Jawa: bibit, bebet, bobot. Diskriminasi juga berlaku dalam hal gender; hak untuk pendidikan tinggi hanya untuk anak laki-laki. Anak perempuan cukup belajar keterampilan rumah tangga saja karena kelak ia 'hanya' akan menjadi ibu. Charlotte menolak semua diskriminasi itu. Baginya semua anak sama-sama mampu dan berhak untuk mengenyam pendidikan sebaik mungkin. Lewat metode pendidikannya, ia membuktikan bahwa jika prinsip-prinsip pendidikan yang benar dijalankan,  "anak yang cerdas akan dipuaskan, dan anak yang lamban dicerdaskan".

2. Karakter sebagai Tujuan
Seorang anak harus dibesarkan bukan cuma untuk menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri atau keluarganya, tapi juga bagi bangsanya, umat manusia, serta Tuhan. Oleh karena itu, urusan pendidikan bagi Charlotte bukan cuma soal mata pelajaran verbal-matematis atau keterampilan untuk mencari nafkah. Tujuan utama pendidikan adalah pembangunan karakter yang luhur dalam diri anak. "Bakat, IQ, kejeniusan, banyak terkait faktor genetik; namun karakter adalah prestasi, suatu pencapaian nyata yang terbuka kemungkinannya bagi siapa saja, baik bagi kita orang dewasa maupun bagi anak-anak kita; dan kehebatan sejati dalam sebuah keluarga atau seorang individu dinilai dari karakternya. Orang-orang besar kita anggap besar semata-mata karena kekuatan karakter mereka." (Charlotte Mason, vol. 2 p. 72).
3. Buku-buku Berkualitas (living books).
Charlotte mengibaratkan pikiran anak ibarat tubuh jasmani yang perlu makanan yang bergizi. Gizi itu adalah ide-ide inspiratif -- “pikiran-pikiran akbar, peristiwa-peristiwa akbar, perenungan-perenungan akbar” (Vol. 6 h. 5) yang membentuk bangsa dan dunia kita -- yang ditransfer "dari pikiran ke pikiran" terutama lewat buku-buku. Maka, Charlotte tak pernah lelah menekankan pentingnya menyajikan buku-buku terbaik sebagai materi pelajaran anak: ditulis langsung oleh si pemikir, tidak diringkas menjadi buku teks atau lembar kerja siswa yang garing; ide itu musti dibaca secara utuh, bukan hanya dicuplik sana sini dan diberikan kepada anak secara sepotong-sepotong. 
4.    Kurikulum yang Kaya (generous curriculum).
Selain bergizi, nutrisi pikiran perlu bervariasi. Setiap anak itu unik, kita tidak pernah tahu ide mana yang membangkitkan minatnya, maka kita musti menyediakan kurikulum yang sekaya mungkin. Sastra, puisi, sejarah, geografi, sains, agama, bahasa asing, matematika, hasta karya, pertukangan, studi karya seni -- daftar ini masih berlanjut jika kita ingin menyebut semua mata pelajaran yang terdaftar dalam kurikulum sekolah Charlotte, dan materinya haruslah karya-karya terbaik yang mungkin diperoleh untuk subjek itu.
           5.    Durasi Belajar Pendek (short lessons).
          Jam belajar di sekolah Charlotte untuk usia sekolah dasar kurang lebih 3-4 jam sehari, dimulai jam 9 dan diakhiri pada jam makan siang. Bagaimana mungkin mempelajari begitu banyak subjek dalam waktu begitu singkat? Kuncinya adalah prinsip durasi belajar yang pendek. Charlotte sangat memahami tahap perkembangan anak yang belum mampu mempertahankan atensi dalam waktu lama. Daripada belajar lama-lama tapi pikiran anak melayang ke mana-mana, lebih efektif belajar dalam waktu singkat tapi anak diajari berkonsentrasi penuh. Pada usia sekolah dasar, Charlotte hanya merekomendasikan 10-20 menit untuk satu pelajaran.
6. Narasi
          Charlotte menganggap teknik terbaik untuk mengevaluasi seberapa banyak pengetahuan yang bisa anak serap dari materi pelajarannya adalah narasi, bukan soal pilihan ganda, "isilah titik-titik di bawah ini", dan tes-tes komprehensi semacamnya. Narasi berarti meminta anak menceritakan kembali apa yang ia tangkap dari bahan bacaannya. Dengan membuat narasi, anak melatih semua keterampilan intelektualnya sekaligus -- memori, imajinasi, daya nalar, retorika.
            7. Tidak Ada Kompetisi.
          Motivasi anak untuk belajar semestinya berasal dari rasa ingin tahu yang secara alamiah tertanam dalam dirinya sejak lahir. Charlotte menolak segala macam pemeringkatan, pemberian hadiah-hadiah, dan motivasi lain yang bersifat kompetitif karena itu akan membuat anak tergantung kepada dorongan eksternal dan akhirnya menggantikan, atau bahkan mematikan, kecintaan belajarnya yang alami.
           8. Tidak Ada Pekerjaan Rumah (PR)
          Bermain, kata Charlotte, harus dipandang sama pentingnya dengan belajar. Hidup anak tidak boleh terlalu tersita oleh pelajaran akademis. Waktu dari pagi hari setelah sarapan sampai jam makan siang sudah cukup untuk menggarap subjek-subjek intelektual yang menguras mental. Setelah itu biarkan anak bermain bebas, berjalan-jalan di alam terbuka, dan menggarap proyek-proyek lain yang ia sukai. Maka, sekolah Charlotte tidak pernah memberikan PR kepada para siswanya.
           9. Cara Belajar Siswa Aktif
          Charlotte menganut hukum emas Comenius, "Hendaknya guru mengajar lebih sedikit supaya siswa belajar lebih banyak". Bolak-balik dalam tulisannya ia mengingatkan para pendidik untuk tidak mengambil alih peran anak dalam mencerna pelajaran. Biarlah anak belajar langsung dari para pemikir besar dalam buku-buku yang ia baca, lalu menyimpulkan sendiri makna dan pesan moral yang tersimpan di dalam buku-buku itu. Metode ini melepaskan beban mengajar dari pundak guru, sekaligus mengkondisikan anak menjadi pembelajar mandiri dengan kekuatan mental yang semakin bertambah karena terus dilatih menyerap sendiri pengetahuan.
         10.  Akrab dengan Alam (outdoor life & nature study).
                          Khususnya pada enam sampai tujuh tahun pertama usianya, Charlotte berharap agar anak-anak dibiarkan untuk menjelajah dunia sebebas mungkin. Orangtua tidak perlu membebani mereka dengan pelajaran formal seperti belajar membaca, menulis, atau berhitung. Pada usia emas ini, urusan anak adalah menjelajah alam semesta dan isinya (nature study). Salah satu saran Charlotte bagi anak-anak usia dini – yang barangkali terasa nyeleneh di era digital ini – adalah supaya mereka banyak-banyak menghabiskan waktu bermain dan menjelajah di alam terbuka (out-of-door life). Tidak hanya 1-2 jam, Charlotte menyebutkan target ideal 4-6 jam dalam sehari! Nantinya ketika pelajaran akademis telah dimulai, kegiatan di luar ruangan dan nature study ini lebih diarahkan untuk mengembangkan kebiasaan ilmiah anak: daya perhatian, kecermatan observasi, kebiasaan mencatat dengan teliti apa yang diamati di alam, dan seterusnya.
11. Habit Training dan Keteladanan.
Satu hal yang membuat saya terpikat begitu mengenal metode Charlotte Mason adalah konsepnya tentang habit training sebagai teknik praktis pendidikan karakter. Education is a discipline, kata Charlotte. Disiplin itu berarti orangtua secara terencana dan sistematis melatihkan kebiasaan-kebiasaan baik ke dalam hidup sehari-hari anak. Seorang anak yang telah terbiasa memikirkan perkara-perkara mulia dan luhur, sampai kebiasaan itu terbentuk sebagai karakternya, akan lebih sulit mengubah dirinya menjadi pribadi yang suka berpikir jahat. Charlotte mengumpamakan habit training ini seperti proses memasang rel-rel kereta api. Sudahkah orangtua secara serius memikirkan jalur mana yang musti ditempuh anak agar gerbong-gerbong kehidupannya bisa sampai ke stasiun tujuan? Maka ke sanalah sepatutnya mereka secara konsisten memasang lintasan-lintasan yang nyaman untuk dilewati agar “si pelancong kecil bisa melaju dengan kecepatan penuh”. Yang tak kalah penting adalah prinsip Education is an atmosphere, anak menyerap pengaruh lingkungan sama seperti ia menghirup udara untuk bernafas, maka orangtua dan guru musti bertindak selaras dengan perannya sebagai pemberi inspirasi bagi anak-anak. Seperti kata Naomi Aldort, raising children is raising ourselves, mendidik anak-anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri.
Referensi : 
Agustian, Ary Ginanjar. Membangun Sumber Daya Manusia dengan Kesinergisan antara Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual. Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Karakter, UNY 2007.
Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. 2006
Djalil, Sofyan A. dan Megawangi, Ratna. Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Makalah Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September 2006.
Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001.
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. Character Education Partnership, 2007.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009.
Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001
Suyanto dan Hisyam, Djihad. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi dan Reformasi. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.
Suyatno; Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor). Pengembangan Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press, 2009.
U. S. Department of Education. Office of Safe and Drug-Free Schools. 400 Maryland Avenue, S.W. Washington, DC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar